Rabu, 01 Agustus 2018

Semua Akan Hamil pada Waktunya (Part 1)

Saat ini Gibran sudah memasuki usia 3 tahun lebih. Mau 4 tahun sebenarnya.
Banyak yang "menyatakan" kalau Gibran sudah "siap" dan pantas punya adik.
Hmm..
Dari mulai keluarga, tetangga, sampe teman-teman pun bilang begitu.

But, you know what?
Aku sebagai ibunya, selalu bilang, "nanti aja punya adiknya."



Karena apa?
Bagi kami, persoalan punya anak ini adalah hal yang dibutuhkan banyak sekali pertimbangan dan pembahasan.
Sejujurnya, di awal nikah pun saya dan suami sepakat untuk menunda kehamilan "secara alami". Karena berkaca pada kondisi kesiapan kami sebagai pasutri baru, ya dari segi lahir-batin serta yang utama adalah kondisi ekonomi.
Saat itu kami masih harus menyesuaikan dipelbagai sisi.
Hanya saja, Allah berkehendak lain.
Kami diberi amanah itu jauh lebih cepat dari bayangan kami.
Dan apa yang terjadi pada akhirnya?
Kehamilan tanpa persiapan itu; capek. Iya, capek banget.
Bukan, bukan karena tidak bersyukur. Bersyukur sekali-lah. Karena di luar sana ada juga yang ingin memiliki anak tapi belum dipercaya oleh Allah.
Tapi ya itu tadi, karena kurangnya kesiapan kami, jadilah kami merasa kehamilan pertama ini bikin capek.


Sekedar falshback dan informasi saja, saat hamil Gibran, saya ini payah sekali. Ya morningsick yang ngga kelar-kelar selama 4 bulan, bedrest selama 3 bulan, ngga masuk nasi, jangankan untuk berdiri dan jalan, duduk di kasur aja saya sampai gelap banget kadang muntah.
Belum lagi, kehamilan mendadak saya ini bikin repot rekan kerja saya saat itu. Bejibun kerjaan yang belum saya selesaikan terpaksa makin ngga selesai karena saya sering mangkir ke kantor yang sampai akhirnya saya harus meninggalkan kantor itu dengan kesan yang jelek. Sedih dan malunya sebenernya masih kerasa sampai sekarang.

Di segi ekonomi, pekerjaan suami saat itu terbilang baru di TV swasta. Posisinya sebagai tulang punggung keluarga sebelum menikah dengan saya tidak bisa ditinggalkan begitu saja. Otomatis dia, dengan posisi pekerjaan yang baru seumur jagung, sudah bisa terbaca berapa pendapatannya. Sedangkan dia harus tetap jadi tulang punggung keluarganya dan dia juga punya keluarga baru.

Kelemahan fisik saya mengakibatkan saya harus mengalami pendarahan dan kram perut yang hebat di usia kandungan 7 minggu.
Saat itu, jangankan untuk periksa ke dokter kandungan. Untuk makan saja kami ngga ada.
Iya waktu awal nikah, kami lebih sering makan sepiring berdua dan hanya dua kali sehari. Itupun kadang yang kali keduanya, suami ngga makan karena dia berikan jatahnya untuk saya.
Saat saya mengeluh perut saya sakit dan bercak darah masih ada saja, dia cuma bisa meluk saya sambil bilang, "kamu kan hebat, kamu pasti kuat. Kita sama-sama berdoa semoga Allah nolong kita."
Jadi saya itu merasakan sakit perut tanpa diperiksa ke dokter selama 1x24 jam.

Dan memang Allah itu sayang sama kami, Dia kirimkan pertolongan untuk kami melalui rekan kerja saya dari Bali. Alhamdulillah, Allahu Akbar.
Kami ngga akan pernah lupa pertolongan itu.
Dari situ kami bisa berangkat ke rumah sakit bertemu dokter kandungan untuk ngecek keadaan kandungan saya.

Dan ternyata sampai di sana, saya malah divonis blighted ovum. Kehamilan yang kosong, tanpa embrio. Karena pas dilakukan USG, ngga terlihat ada embrio di kantung rahim saya. Tapi saat itu kondisi dan ukuran rahim saya membesar sesuai usianya, 7 minggu kehamilan.
Remuk banget rasanya hati ini dikasih tau dokter seperti itu.
Bahkan dokter menjelaskan, kalau 2 minggu lagi, saat kontrol ulang ternyata masih tidak ada embrionya juga, terpaksa harus dilakukan "kuret" untuk membersihkan rahim. Karena ya itu tadi, rahim saya sudah membesar.
Kayak pepatah aja saat itu, "Sudah jatuh tertimpa tangga pula"

Iya, sudah pendarahan, belum ada uang, dateng ke dokter di vonis seperti itu, ditambah lagi harus mikirin kalau sampai kuret, pasti butuh dana banyak."
Peninglah ini kepala. Saya sih cuma bisa nangis saat itu.
Cuma, suami saya ini orang hebat. Dia yakin kalau anaknya masih ada di rahim saya. Cuma dia malu, karena itu adalah kali pertama kita bertemu. Dia bilang, "Kamu ngga usah nangis. Ngga usah sedih. Aku sih yakin, anak aku masih ada di perut kamu. Nanti juga dia nongol kok. Aku aja yakin, masa kamu ngga? Emang kamu ngga bisa ngerasain kalau anak kita ada di perut kamu?"
Denger dia ngomong kayak gitu, saya bukannya berhenti nangis, malah tambah gede nangisnya. Di depan ruang dokter pula. Haha

Akhirnya kita pulang ke kosan. Sampai rumah dia urus saya sekaligus menenangkan saya. Padahal, saat itu dia harus jalan ke lokasi shooting. Karena dia scriptwriter, kemungkinan shooting tanpa dia bisa berjalan mulus tuh ya 50% lah. Karena dia yang tau konten. Tapi dia memilih untuk menemani saya yang setengah sadar ngga sadar saat itu, di kosan.

Hari berlalu, dan tibalah hari di mana kami harus berkunjung lagi ke rumah sakit bertemu dokter kandungan. Untuk mendengarkan diagnosa selanjutnya.
Seperti apa?



To be continue

Jumat, 20 Juli 2018

Hallo

Postingan pertama di blog. Iseng banget bikin blog baru. Ngga tau nanti mau dipakai apaan. Tapi sudah bisa ditebak, sebagian besar postingan di sini, bakalan penuh sama curhatan dari kegalauan gue,  eh,  saya. 

Oke, ini tester aja sih.
Sebenernya bikin ini emang buat curhat. Karena kalau curhat di sosmed lain, kayaknya bakalan terbatas.

Yaudah segini aja. Mau ngetik panjang-panjang juga ngga bisa. Orang mau nginem dulu mumpung yang dua masih pada pules. 
See you next post!